Jumat, 29 Agustus 2014

Bebaskan Diriku..

Bebaskan Diriku..

Mungkin Tuhan menciptakan mahluk-Nya sebaik-baik ciptaan-Nya, dengan kekurangan dan kelebihan yang membuatnya terlihat sempurna. Dan kemudian Dia gariskan sebuah takdir yang mengiringi hidupnya sepanjang usia. Dengan likku-liku kehidupan yang membuat hambaNya semakin kuat dan mencapai masa jayanya.
Kehidupan ibarat sebuah kanvas yang perlu diwarnai dengan tinta, dan tinta tersebut didapatkan dari pengalaman juga perjuangan. Yang terpenting bukan warna apa yang tergores dalam kanvas tersebut, yang terpenting adalah dari goresan tinta tersebut akan menghasilkan apa untuk masa depan kita.
Aku mencoba memahami kehidupan dari apa yang telah aku alami dalam sebuah kehidupan, pahit manisnya hidup kujadikan pengalaman. Meski terkadang sulit bagiku menerima takdir, pemberontakan yang sering kulakukan semata-mata karna aku telah lelah memahami kehidupan. Aku selalu tegar, tapi tak pernah membuatku jadi sosok yang lebih baik dari sifat tegar maupun kuat. Justru itu yang membuatku menjadi semakin lemah. Aku mencoba sabar, tapi dari sabar yang selalu kupaksakan justru membuat aku menjadi sosok yang pemarah dan pemberontak, membuat aku menjadi sosok yang pendendam atas segala kesabaran yang aku pendam. Aku mencoba menerima, namun dibalik penerimaanku tersimpan sebuah tanda tanya besar “Mengapa aku tidak terlahirkan seperti orang-orang kebanyakan yang tidak hidup terkekang bak penjara?”. Dan dari pertanyaanku tersebut menjadikan aku sebagai sosok yang tak mampu menerima takdir dan kehidupan.
Aku dikenal sebagai sosok yang ceria, dengan senyuman indah yang selalu kujadikan topeng untuk menutupi rasa tertekan yang selama ini kurasakan. Namun dengan itu aku menjadi sosok yang tidak menyenangkan. Lisanku terkadang tak terjaga dengan baik, sifat pendendam dan ambisius tertanam dijiwaku, sifat iri dan tak mau kalah adalah bagian dari keburukanku. Itu bukan karna aku memang tak baik, namun sifat itu terbawa dari rasa sakit hidup yang selama ini kualami.
Selalu kubertanya pada sang Pencipta atas diriku, namun tak pernah kudapatkan jawaban yang pasti atas pertanyaanku. Lalu harus dengan siapa aku bertanya? Apakah aku harus bertanya pada takdir? Atau aku harus bertanya pada diriku sendiri? Apakah aku yang menyebabkan diriku seperti ini? Aku pikir bukan.
Aku terkekang bagai seekor burung dalam sangkar yang selalu berharap bebas dalam pengembaraan. Karna diam bukan membuat aku semankin baik, justru semankin berontak atas diriku sendiri. Berulang kali aku teriak ingin keluar, namun semakin terkubur aku dalam kesepian. Orang tuaku bilang ini demi kebaikanku agar aku tak terjerumus dalam dunia luar yang kejam, tapi aku pikir aku mampu menjaga diriku sendiri. Aku bukan anak kecil yang harus selalu dilarang atas apa yang selalu ingin kulakukan, aku ingin merasakan bagaimana dunia luar yang selalu kawan-kawanku ceritakan. Bukan untuk ku tiru, hanya kujadikan pegangan agar aku tahu apa yang baik kulakukan dan apa yang tidak baik kulakukan.
Bebas itu bukan berarti kau harus melakukan hal-hal bebas yang membuat dirimu lepas tak terbatas, tapi bebas itu adalah ketika kau bebas menjadi dirimu sendiri tanpa harus menjadi nakal.”
                Adalah sebuah kutipan kecil yang kuambil dari salah satu bungkus makanan ringan yang biasa kubeli di warung terdekat. Kadang aku merenungkan kata-kata tersebut, kata-kata yang menurutku sangat tepat dengan keinginanku. Namun ku sadar aku bukan manusia bebas dalam arti apapun, entah bebas dalam arti lepas ataupun bebas menjadi diriku sendiri.
                Ketika habis dalam lamunan malamku, kulihat sebuah pesan singkat masuk didalam telepon genggamku. Ternyata pesan itu dari temanku, Liza. Ternyata besok akan diadakan pemilihan peran drama untuk pentas kenaikan kelas nanti. Sejenak timbul dalam pikiranku untuk tidak memberitahu orangtuaku tentang ini, toh kegiatan ini adalah kegiatan sekolah. Ibaratkan sambil menyelam minum air, mungkin bisa sambil kulihat bagaimana dunia luar yang selama ini selalu menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
                Malam kian larut, ku biarkan tubuhku terbaring dalam sebuah pembaringan kecil diatas besi-besi yang menopang tumpukan-tumpukan kapuk dengan dibaluti kain sebagai tempat untuk menyatukannya. Kutarik nafasku dalam-dalam sambil mencaci takdirku sendiri, dengan tangan mencengkram selimut yang membaluti tubuhku. Mungkin aku terlalu lelah dengan cacian terhadap diriku sendiri, hingga tanpa sadar mataku mulai terpejam dan perlahan-lahan memasuki dunia yang berbeda didalam tidurku.
                Aku bermimpi aku melihat diriku sendiri diatas bukit, dengan mengenakan gaun putih nan indah sambil berjalan dengan anggun bak seorang putri nan cantik jelita. Namun disana seperti kehampaan yang tersirat dalam raut wajahku, seperti kehilangan sesuatu kulihat kekosongan itu dari bola mataku sendiri. Namun kulihat juga ada sosok wanita nan sangat menghampiriku dan memberikanku sebuah bunga anggrek putih sambil tersenyum indah kepadaku dan dengan suara lembutnya wanita itu bertanya.
                “Bukan itu yang sesungguhnya kau butuhkan.” Ucapnya lembut sambil memberikan bunga anggrek kepadaku.
                “Apa maksudmu?” Tanyaku heran.
                “Kau menginginkan kebebasan bukan? Sesungguhnya bukan itu yang kau butuhkan.” Jawabnya mempertegas ucapannya.
                “Darimana kau tau? Darimana kau tahu bahwa bukan kebebasan yang aku butuhkan?” Tanyaku keheranan.
                “Bukankah itu yang selama ini kau keluhkan dalam hatimu? Sesungguhnya kebebasan itu bukan yang kamu butuhkan saat ini, apa kamu yakin jika kau merasa bebas akan membuat dirimu menjadi lebih baik?” tanyanya.
                “Mengapa tidak? Aku butuh menghirup udara bebas untuk diriku sendiri, aku bosan dengan semua ini aku bosan.” Ucapku dengan tegas.
                “Apa itu yang selama ini kau keluhkan? Apa itu yang membuat dirimu merasa tertekan?” Tanyanya seakan memojokkanku.
                “Aku tidak tertekan, aku hanya bosan!” Ucapku mengelak.
                Lalu dia memberikan selembar kertas dan sehelai bulu ayam beserta tinta kepadaku dan mengambil kembali bunga anggrek yang telah ia berikan kepadaku.
                “Apa ini?” tanyaku keheranan.
                “Cari kebebasanmu disini.”
                Dan kemudian wanita itu bergegas pergi dari hadapanku, berlarian dia menghindariku sambil menuruni bukit. Yang tersisa dari hadirnya hanya aroma tubuhnya yang tak hilang dari indra penciumanku. Setelah kusadar, ternyata itu hanyalah bagian dari bunga tidur malamku. Tanpa memperhatikannya aku bergegas merapihkan tempat tidur dan segera pegi menuju sekolah.
                Sesampainya disekolah, kulihat ramai orang sedang membicarakan kawanku. Rina, teman sekelasku yang hamil diluar nikah. Dan setelah aku memasuki ruang kelasku, guru BK memanggilku menuju ruangnya.
                “Permisi.”
                “Silahkan masuk.” Ucap guruku mempersilahkanku masuk.
                Aku masuk dan segera duduk dikursi, kulihat guru BK mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari dalam loker mejanya.
                “Kamu tahu mengapa saya memanggil kamu keruangan saya?” Tanya guru BK terhadapku.
                Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil menundukkan kepala.
                “Saya memanggil kamu disini karena saya menemukan catatan ini.” Ucap bu guru BK sambil menunjukkan beberapa lembar kertas, namun aku hanya tertunduk.
                “Apa yang sesungguhnya kau cari dari sebuah kebebasan?” Tanyanya.
                “Apa saya harus menjawab itu?” Ucapku seperti membantah.
                “Tulisan kamu ini bagus, kamu punya kalimat yang sangat bermakna dibalik petikan-petikan kata di puisi ini. Kamu tahu? Ini adalah kebebasan nyata yang telah ditakdirkan Tuhan untuk kamu.” Ucap guruku.
                “Jika ini adalah kebebasan, dimana udara-udara yang mampu kuhirup dari semua ini? Ini hanya membuat jari-jemariku keluh.”
                “Itu yang kau cari dari sebuah kebebasan?” tanyanya sekali lagi.
                “Lalu apa?” Tanyaku keheranan.
                “Bebas itu adalah ketika kamu mampu menuangkan apa yang kamu rasakan tanpa menyakiti perasaan siapapun, lalu apa yang kau cari dari kebebasan? Jika kamu hanya mencari udara-udara kebebasan, sesungguhnya kamu telah mendapatkannya.”
                “Tapi saya merasa udara itu tak pernah terhirup, bagaimana saya bisa merasa bebas kalau diri saya sendiri terkurung dalam ruangan hampa udara yang menyiksa saya.” Ucapku berontak.
                “Jika udara itu adalah curahan hati diantara jeritan dan tetesan air mata yang tergores diatas kertas dan itu membuat kamu semakin mampu bernapas lega, bukankah itu yang disebut kebebasan?” Penjelasannya
                “Tapi bu, justru yang tergores diantara lembaran-lembaran kertas itu yang membuat orang-orang tersenyum. Bu, mereka mentertawakan deritaku! Lalu mereka akan menyebutku apa? Pecundang? Atau pengecut? Yang hanya bisa bercerita pada benda tak bernyawa.” Tegasku.
                “Bukankah menyenangkan hati orang lain itu ibadah? Mereka bukan mentertawakan deritamu, tapi mereka bahagia atas karyamu. Jangan jadikan kebebasan menjadi penghambat dirimu berkarya, bukankah kau tidak ingin menjadi seperti Rina?” ucapnya.
                Semenjak hari ini, aku tidak lagi memperdulikan tentang kebebasan yang dulu pernah kudewakan, sekarang aku tahu bahwa kebebasan itu bukan ketika diri kita menjadi bebas tak terbatas, tapi bebas itu adalah ketika kamu bebas menjadi diri kamu sendiri dan bebas berpendapat tanpa harus menyakiti hati orang lain.

**TAMAT**