Bebaskan
Diriku..
Mungkin Tuhan menciptakan
mahluk-Nya sebaik-baik ciptaan-Nya, dengan kekurangan dan kelebihan yang
membuatnya terlihat sempurna. Dan kemudian Dia gariskan sebuah takdir yang
mengiringi hidupnya sepanjang usia. Dengan likku-liku kehidupan yang membuat
hambaNya semakin kuat dan mencapai masa jayanya.
Kehidupan ibarat sebuah kanvas
yang perlu diwarnai dengan tinta, dan tinta tersebut didapatkan dari pengalaman
juga perjuangan. Yang terpenting bukan warna apa yang tergores dalam kanvas
tersebut, yang terpenting adalah dari goresan tinta tersebut akan menghasilkan
apa untuk masa depan kita.
Aku mencoba memahami kehidupan
dari apa yang telah aku alami dalam sebuah kehidupan, pahit manisnya hidup
kujadikan pengalaman. Meski terkadang sulit bagiku menerima takdir,
pemberontakan yang sering kulakukan semata-mata karna aku telah lelah memahami
kehidupan. Aku selalu tegar, tapi tak pernah membuatku jadi sosok yang lebih
baik dari sifat tegar maupun kuat. Justru itu yang membuatku menjadi semakin
lemah. Aku mencoba sabar, tapi dari sabar yang selalu kupaksakan justru membuat
aku menjadi sosok yang pemarah dan pemberontak, membuat aku menjadi sosok yang
pendendam atas segala kesabaran yang aku pendam. Aku mencoba menerima, namun
dibalik penerimaanku tersimpan sebuah tanda tanya besar “Mengapa aku tidak
terlahirkan seperti orang-orang kebanyakan yang tidak hidup terkekang bak
penjara?”. Dan dari pertanyaanku tersebut menjadikan aku sebagai sosok yang tak
mampu menerima takdir dan kehidupan.
Aku dikenal sebagai sosok yang
ceria, dengan senyuman indah yang selalu kujadikan topeng untuk menutupi rasa
tertekan yang selama ini kurasakan. Namun dengan itu aku menjadi sosok yang
tidak menyenangkan. Lisanku terkadang tak terjaga dengan baik, sifat pendendam
dan ambisius tertanam dijiwaku, sifat iri dan tak mau kalah adalah bagian dari
keburukanku. Itu bukan karna aku memang tak baik, namun sifat itu terbawa dari
rasa sakit hidup yang selama ini kualami.
Selalu kubertanya pada sang
Pencipta atas diriku, namun tak pernah kudapatkan jawaban yang pasti atas
pertanyaanku. Lalu harus dengan siapa aku bertanya? Apakah aku harus bertanya
pada takdir? Atau aku harus bertanya pada diriku sendiri? Apakah aku yang
menyebabkan diriku seperti ini? Aku pikir bukan.
Aku terkekang bagai seekor burung
dalam sangkar yang selalu berharap bebas dalam pengembaraan. Karna diam bukan
membuat aku semankin baik, justru semankin berontak atas diriku sendiri.
Berulang kali aku teriak ingin keluar, namun semakin terkubur aku dalam kesepian.
Orang tuaku bilang ini demi kebaikanku agar aku tak terjerumus dalam dunia luar
yang kejam, tapi aku pikir aku mampu menjaga diriku sendiri. Aku bukan anak
kecil yang harus selalu dilarang atas apa yang selalu ingin kulakukan, aku
ingin merasakan bagaimana dunia luar yang selalu kawan-kawanku ceritakan. Bukan
untuk ku tiru, hanya kujadikan pegangan agar aku tahu apa yang baik kulakukan
dan apa yang tidak baik kulakukan.
“Bebas itu bukan berarti kau harus melakukan hal-hal bebas yang membuat
dirimu lepas tak terbatas, tapi bebas itu adalah ketika kau bebas menjadi
dirimu sendiri tanpa harus menjadi nakal.”
Adalah sebuah kutipan kecil
yang kuambil dari salah satu bungkus makanan ringan yang biasa kubeli di warung
terdekat. Kadang aku merenungkan kata-kata tersebut, kata-kata yang menurutku
sangat tepat dengan keinginanku. Namun ku sadar aku bukan manusia bebas dalam
arti apapun, entah bebas dalam arti lepas ataupun bebas menjadi diriku sendiri.
Ketika
habis dalam lamunan malamku, kulihat sebuah pesan singkat masuk didalam telepon
genggamku. Ternyata pesan itu dari temanku, Liza. Ternyata besok akan diadakan
pemilihan peran drama untuk pentas kenaikan kelas nanti. Sejenak timbul dalam
pikiranku untuk tidak memberitahu orangtuaku tentang ini, toh kegiatan ini
adalah kegiatan sekolah. Ibaratkan sambil menyelam minum air, mungkin bisa
sambil kulihat bagaimana dunia luar yang selama ini selalu menjadi tanda tanya
besar dalam hidupku.
Malam
kian larut, ku biarkan tubuhku terbaring dalam sebuah pembaringan kecil diatas
besi-besi yang menopang tumpukan-tumpukan kapuk dengan dibaluti kain sebagai
tempat untuk menyatukannya. Kutarik nafasku dalam-dalam sambil mencaci takdirku
sendiri, dengan tangan mencengkram selimut yang membaluti tubuhku. Mungkin aku
terlalu lelah dengan cacian terhadap diriku sendiri, hingga tanpa sadar mataku
mulai terpejam dan perlahan-lahan memasuki dunia yang berbeda didalam tidurku.
Aku
bermimpi aku melihat diriku sendiri diatas bukit, dengan mengenakan gaun putih
nan indah sambil berjalan dengan anggun bak seorang putri nan cantik jelita.
Namun disana seperti kehampaan yang tersirat dalam raut wajahku, seperti
kehilangan sesuatu kulihat kekosongan itu dari bola mataku sendiri. Namun
kulihat juga ada sosok wanita nan sangat menghampiriku dan memberikanku sebuah
bunga anggrek putih sambil tersenyum indah kepadaku dan dengan suara lembutnya
wanita itu bertanya.
“Bukan itu yang sesungguhnya kau butuhkan.”
Ucapnya lembut sambil memberikan bunga anggrek kepadaku.
“Apa maksudmu?” Tanyaku heran.
“Kau menginginkan kebebasan
bukan? Sesungguhnya bukan itu yang kau butuhkan.” Jawabnya mempertegas
ucapannya.
“Darimana kau tau? Darimana kau
tahu bahwa bukan kebebasan yang aku butuhkan?” Tanyaku keheranan.
“Bukankah itu yang selama ini
kau keluhkan dalam hatimu? Sesungguhnya kebebasan itu bukan yang kamu butuhkan
saat ini, apa kamu yakin jika kau merasa bebas akan membuat dirimu menjadi
lebih baik?” tanyanya.
“Mengapa tidak? Aku butuh
menghirup udara bebas untuk diriku sendiri, aku bosan dengan semua ini aku
bosan.” Ucapku dengan tegas.
“Apa itu yang selama ini kau
keluhkan? Apa itu yang membuat dirimu merasa tertekan?” Tanyanya seakan
memojokkanku.
“Aku tidak tertekan, aku hanya
bosan!” Ucapku mengelak.
Lalu
dia memberikan selembar kertas dan sehelai bulu ayam beserta tinta kepadaku dan
mengambil kembali bunga anggrek yang telah ia berikan kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku keheranan.
“Cari kebebasanmu disini.”
Dan
kemudian wanita itu bergegas pergi dari hadapanku, berlarian dia menghindariku
sambil menuruni bukit. Yang tersisa dari hadirnya hanya aroma tubuhnya yang tak
hilang dari indra penciumanku. Setelah kusadar, ternyata itu hanyalah bagian
dari bunga tidur malamku. Tanpa memperhatikannya aku bergegas merapihkan tempat
tidur dan segera pegi menuju sekolah.
Sesampainya
disekolah, kulihat ramai orang sedang membicarakan kawanku. Rina, teman
sekelasku yang hamil diluar nikah. Dan setelah aku memasuki ruang kelasku, guru
BK memanggilku menuju ruangnya.
“Permisi.”
“Silahkan masuk.” Ucap guruku
mempersilahkanku masuk.
Aku
masuk dan segera duduk dikursi, kulihat guru BK mengeluarkan lembaran-lembaran
kertas dari dalam loker mejanya.
“Kamu tahu mengapa saya
memanggil kamu keruangan saya?” Tanya guru BK terhadapku.
Aku hanya menggelengkan kepalaku
sambil menundukkan kepala.
“Saya memanggil kamu disini
karena saya menemukan catatan ini.” Ucap bu guru BK sambil menunjukkan beberapa
lembar kertas, namun aku hanya tertunduk.
“Apa yang sesungguhnya kau cari
dari sebuah kebebasan?” Tanyanya.
“Apa saya harus menjawab itu?”
Ucapku seperti membantah.
“Tulisan kamu ini bagus, kamu
punya kalimat yang sangat bermakna dibalik petikan-petikan kata di puisi ini.
Kamu tahu? Ini adalah kebebasan nyata yang telah ditakdirkan Tuhan untuk kamu.”
Ucap guruku.
“Jika ini adalah kebebasan,
dimana udara-udara yang mampu kuhirup dari semua ini? Ini hanya membuat
jari-jemariku keluh.”
“Itu yang kau cari dari sebuah
kebebasan?” tanyanya sekali lagi.
“Lalu apa?” Tanyaku keheranan.
“Bebas itu adalah ketika kamu
mampu menuangkan apa yang kamu rasakan tanpa menyakiti perasaan siapapun, lalu
apa yang kau cari dari kebebasan? Jika kamu hanya mencari udara-udara
kebebasan, sesungguhnya kamu telah mendapatkannya.”
“Tapi saya merasa udara itu tak pernah
terhirup, bagaimana saya bisa merasa bebas kalau diri saya sendiri terkurung
dalam ruangan hampa udara yang menyiksa saya.” Ucapku berontak.
“Jika udara itu adalah curahan
hati diantara jeritan dan tetesan air mata yang tergores diatas kertas dan itu
membuat kamu semakin mampu bernapas lega, bukankah itu yang disebut kebebasan?”
Penjelasannya
“Tapi bu, justru yang tergores diantara
lembaran-lembaran kertas itu yang membuat orang-orang tersenyum. Bu, mereka
mentertawakan deritaku! Lalu mereka akan menyebutku apa? Pecundang? Atau
pengecut? Yang hanya bisa bercerita pada benda tak bernyawa.” Tegasku.
“Bukankah menyenangkan hati
orang lain itu ibadah? Mereka bukan mentertawakan deritamu, tapi mereka bahagia
atas karyamu. Jangan jadikan kebebasan menjadi penghambat dirimu berkarya,
bukankah kau tidak ingin menjadi seperti Rina?” ucapnya.
Semenjak hari ini, aku tidak
lagi memperdulikan tentang kebebasan yang dulu pernah kudewakan, sekarang aku
tahu bahwa kebebasan itu bukan ketika diri kita menjadi bebas tak terbatas,
tapi bebas itu adalah ketika kamu bebas menjadi diri kamu sendiri dan bebas
berpendapat tanpa harus menyakiti hati orang lain.
**TAMAT**